Friday, February 15, 2019

Mengungkap Seni Instalasi Paling Jujur

DI Amerika Serikat dan Inggris, pengering otomatis seperti yang terdapat pada mesin cuci bukan hanya membutuhkan listrik dan biaya yang besar untuk dioperasikan, tapi sering kali juga merusak bahari dan warna pakaian yang dikeringkan. Sementara banyak negara-negara maju yang melarang adanya jemuran di halarnan rumah karena beberapa alasan, seperti estetika, ketertiban, kerapian, dan kenyamanan.

Akibatnya, penggunaan pengering otomatis bertenaga listrik semakin populer. Di negara seperti Belanda pun-yang sering dianggap sebagai negara sadar lingkungan, jumlah penggunaan pengering berlipat ganda tiap sepuluh tahunnya. Satu-satunya negara Eropa yang masih mempertahankan tren jemuran tradisional adalah Italia. Jemuran bergantungan di balkon, baik di pedesaan ataupun kota-kota besar.

Right to Dry adalah tema gerakan para aktivis yang menginginkan lagi dipopuler-kannya jemuran tradisional. Kontroversi ini dilandasi berbagai alasan kepentingan pihak pemerintah dan aktivis, di antaranya pemanasan global, hak individu, faktor ekonomi, properti pribadi, kesenjangan kelas masyarakat, faktor estetika lingkungan terkait, kesehatan, penghematan energi, hingga kenyamanan antartetangga-yang tak ingin berjalan-jalan di lingkungannya dengan pemandangan pakaian dalam.

Jika negara-negara maju ini heboh soal hak menjemur baju di bawah sinar mentari, fotografer Aiko Urfia Rakhmi-selayaknya orang Indonesia pada umumnya-sudah mengurusi isu yang lebih jauh lagi, yaitu perkara "maling jemuran" dan pemaknaan jemuran itu sen-
diri. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia, jemuran bukan lagi perkara larangan pemerintah atau image -ang identik dengan kemiskinan, namun sudah menyentuh ke wilayah identitas.

"Jemuran menceritakan perkara si pemiliknya, mulai ragam budaya Indonesia yang kaya, seperti variasi kain, baju adat tradisional yang berbeda-beda, hingga mengungkap selera berpakaian, usia, kelas sosial, gender, dan muasal daerah si pemilik jemuran yang bagi saya merupakan realita kehidupan yang jelas terbaca," kata Aiko saat pembukaan pamerannya, Maling Jemuran, di Japan Foundation, Rabu (2/12).

Pameran yang dikurasi fotografer senior Oscar Ma-tuloh ini mengambil tema Maling Jemuran karena istilah ini begitu lekat dan familier di masyarakat sebagai fenomena yang kerap terjadi di masyarakat. Hanya saja, maling jemuran yang dimaksud Aiko bukanlah benar-benar pencurian salah satu material yang sedang dijemur, melainkan mengambil gambar jemuran warga dengan diam-diam.

"lm bukan memamerkan foto dengan obyek maling yang sedang nyolong jemuran, tapi olokan terhadap diri saya sendiri yang memotret tanpa permisi. Seperti paparazzi mengejar selebriti, saya memburu jemuran di berbagai pelosok di Palembang, Bangka dan Belitung, Jakarta, Bandung, Cirebon, Kampung Naga, Baduy, Pekalongan, Yogyakarta, Madura, Bromo, dan Bali," kata Aiko yang memamerkan sekitar 50-an karya fotonya yang dikumpulkan dalam kurun waktu sekitar dua talimi

Memang tidak secara kaku bisa dikotakkan identitas pemilik dari kain yang dijemur berhubung wilayah pedesaan pun saat ini sudah mengenakan pakaian modern, tapi ada foto yang sukses memfokuskan jepretan pada kain batik. Yaitu foto berjudul

Bank Tertiup Angin yang dipotret di Cirebon Jawa Barat.

Foto ini sangat bergaya artistik hingga mirip dengan foto yang terkoreografi (dengan angin buatan untuk efek dramatis) daripada kain yang tergantung di jemuran rumah tangga. Dengan latar belakang hitam kelam-kemungkinan langit malam hari, Aiko menghadirkan jenis foto jemuran yang sangat menyentuh.

Berdasarkan kejeliannya dalam memotret dan juga tentu sentuhan artistiknya yang sensitif dan jitu, Aiko mengambil potongan gambar jemuran (lengkap dengan latar, pencahayaan, dan de-kornya yang natural dan apa adanya) dan menjadikannya sebuah instalasi seni yang ideal secara komposisi warna dan ruang, serta kedalaman pesan yang termuat sebagai sebuah instalasi seni yang mengandung ide.

Foto berjudul Yang Hidup dan Yang Mati adalah contoh menarik dalam menggambarkan aktivitas manusia. Berlatar belakang kuburan yang muram dengan warna monoton; putih kelabu, dan kehijauan rumput-pepohonan teramat rindang, segaris tali jemuran melintang dengan lantang menyajikan warna-warni pakaian dalam, t-shirt lengan panjang, dan mukena. Kontras yang indah ini dilengkapi juga dengan penataan jemuran yang selang-seling antara yang kecil dan yang besar, yang berwarna mencolok de-
ngan yang berwarna lembut. Kontras warna yang nakal dan menghibur mata ini juga terjadi pada sebuah jemuran pendek di atas rumah bercat ungu total (Rumah Jamban. Jakarta)

"Bisa saja si penjemur secara sengaja atau tak disengaja menyusun komposisi jemuran dengan deretan ukuran pakaian dari yang terkecil sampai urutan terbesar, atau dari warna yang terpucat sampai pada warna-warna paling pekat dan gelap. Pada kai lainnya, penjemur dengan jemur-an borkelebihan, tapi kehabisan tali, mulai berimprovisasi memanfaatkan kekosongan di pagar, pohon, atap, rumput, pot tanaman, dan tempat lain ang jarang terpikirkan, namun memungkinkan sinar matahari untuk menjangkaunya. Pada akhirnya, cucian yang dyemur ini jadi hamparan komposisi indah dalam bentuk instalasi yang sarat dengan kejujuran dan realita kehidupan sosial," kata Aiko.

Ada pula sebuah jemuran mini yang melingkar seperti ruas jari digantung di atas sebuah pohon yang tinggi menjulang. Dipotret dari sudut pandang yang menempatkan obyek nyaris tegak lurus di atas kamera, menjadikan sebuah gambar yang sangat hidup dengan wujud pohon yang seperti menyentuh langit biru berawan. Je-murannya sendiri kelihatan bagai benda langit yang melayang bebas di udara.

Foto berjudul Simbiosis-mutualisme (diambil di Cirebon) ini selain artistik juga sangat berkarakter foto-foto lingkungan hidup yang fokus pada unsur alam, seperti pohon dan udara yang jernih untuk menceritakan bagaimana manusia (disimbolkan oleh pakaiannya) adalah bagian yang masih sangat "bergantung" pada tumbuhan dan udara bersih. Untuk foto macam ini, tentu bukan lagi peranan si penjemur untuk menjadikannya instalasi melainkan kepiawaian Aiko sebagai fotografer yang membuatnya semakin berbicara.

Selain gambar-gambar jemuran yang bernuansa seni, Maling Jemuran juga sangat terbuka berbicara soal kemiskinan dan ringkat ekonomi masyarakat yang rendah. Hal ini tergambar bukan saja dari karakteristik pakaiannya, tapi juga dari lokasi digan-tungkannya pakaian. Misalnya baju yang dihamparkan pasrah begitu saja tanpa penjepit dan gantungan di atas, gero-bak-gerobak minyak tanah {Efisiensi Gerobak Minyak

FOTOfOTO SYWAMORJURJMl. W90NAI

Tanah Jakarta), Jemuran yang melintang di bawah reruntuhan bangunan karena ketiadaan lahan si pemilik (Di Bawah Reruntuhan Palembang), atau foto Impressio-nisme (Garut dan Bogor) yang menghantarkan pakaian dengan terbuka di atas atap dan semak-semak tinggi.

Aiko sendiri mengaku paling terkesan dengan seni instalasi yang menampilkan jemuran baju dengan pendamping jemuran ikan asin di masyarakat nelayan Kampung Bugis, Belitung. Foto berjudul Fish and Laundry ini menunjukkan identitas masyarakat sekaligus keterbukaan dan penghargaan mereka terhadap mata pencahariannya, sehingga ndak menafikan ikan asin sebagai sumber penghidupan yang berhak berdampingan anggun di samping pakaian yang nantinya akan membungkus rubuh warga nelayannya sendiri. Jadi bukan karena tak ada lahan.

Tentu bukan berarti potret ini bisa dianggap ideal karena tempat menjemur yang baik tentunya yang membuat pakaian menjadi kering dengan aroma segar dan kebersihan yang layak, namun konsep jemuran dalam masyarakat lokal Indonesia tidak berhenti pada batasan ekonomi saja selayaknya di negara-negara maju macam AS dan Eropa. Contohnya, banyak film Holl)-wood yang menghadirkan jemuran secara sempit sebagai simbol ekonomi yang

sulit. Jennifer Williams seorang dekorator set film mengatakan bahwa dirinya menggantung jemuran untuk di-shoot kamera guna membantu mengomunikasikan ide mengenai keadaan kemiskinan dalam film Angelas Ashes, Children of Men, dan Pearl Harbor.

Di saat orang Barat mempersoalkan citra, berbagai kalangan di Indonesia masih sangat tergantung dan menyukai penggunaan jemuran tradisional karena efisien, hemat, dan praktis. Perbedaan latar ekonomi kemudian terkotakkan ketika di kota-kota ada masyarakat yang menjemur sembarangan tanpa lahan dan tanpa tali serta masyarakat yang punya jemuran kompleks dengan berbagai aplikasi dan kegunaan yang biasanya diletakkan di bagian dalam rumah yang ndak terlihat dari luar. Meski begitu, menggantung segala sesuatu yang basah di pagar sepertinra sudah jadi tradisi dan pertanda kreativitas se hingga tak perlu repot-repot bayar tagihan listrik yang mahal karena pengering otomatis.

Begitulah Aiko berhasil membawakan kembali fungsi estetik jemuran yang terlupakan dan mengonstruksinya sebagai sebuah obyek berharga yang kaya akan filosofi. Buat banyak orang, jemuran bahkan bersifat nostalgia karena membangkitkan memori akan masa kecil. Belum lagi, warga kerap merasa nyaman karena atmosfer kedekatan di lingkungan sekitar yang ditimbulkan oleh kesegaran aroma pakaian yang baru dicuci

Aiko yang sudah lama merasakan jemuran sebagai sebuah obyek yang sangat komunikatif kemudian perlahan-lahan mengumpulkan foto seiring kunjungan ke luar kota atau secara spontan ketika ia menangkap obyek yang unik dalam perjalanan. Aiko menyelesaikan kuliahnya pada 1998 di bidang Applied Design in Interactive Multimedia, TAFE of South Australia dan beberapa tambahan ilmu lainnya dari Ol 3D Animation di Digital College Studio, Jakarta serta FFTV Institut Kesenian Jakarta Pengalaman berpamerannya antara lain TV On-Air Graphic Packaging tahun 2007 dan Jakarta Biennale XID - Ruang Perempuan Photography Exhibition pada 2008.

Pamerannya kali ini berlangsung hingga 17 Desember di Japan Foundation dan dilanjutkan lagi pameran yang sama di Galeri Jurnalistik Antara (masih dikurasikan Oscar Matuloh) pada 9 hingga 16 Januari 2010 mendatang.
Comments